Saturday, November 15, 2025

Motivasi dan Gaya Belajar Orang Dewasa: Antara Kebutuhan, Keinginan, dan Cara Menyerap Ilmu

 

Motivasi dan Gaya Belajar Orang Dewasa: Antara Kebutuhan, Keinginan, dan Cara Menyerap Ilmu

Pernah nggak kamu lihat orang dewasa yang semangat banget ikut pelatihan, sampai rela pulang malam, bahkan ikut kelas online di sela-sela kerja? Tapi di sisi lain, ada juga yang ikut pelatihan cuma “karena disuruh”, datang setengah hati, dan akhirnya nggak banyak yang diserap.

Nah, di situlah peran motivasi dan gaya belajar jadi penting. Dua hal ini menentukan apakah seseorang bisa benar-benar belajar dengan bermakna atau cuma sekadar hadir.

Kalau anak-anak belajar karena disuruh, orang dewasa belajar karena mereka ingin dan butuh. Tapi… dorongan “ingin dan butuh” itu datang dari mana? Jawabannya ada pada teori motivasi. Dan bagaimana mereka menyerap pembelajaran? Itu terkait dengan gaya belajar.

Yuk, kita bahas dua hal penting ini secara santai tapi mendalam:

1.      Teori-teori motivasi (Maslow, Herzberg, Deci & Ryan) yang menjelaskan kenapa orang dewasa mau belajar,

2.      Preferensi gaya belajar (visual, auditori, kinestetik) yang menjelaskan bagaimana mereka paling mudah memahami sesuatu.

 

Teori dan Praktik Pendidikan Orang Dewasa | CV. Cemerlang Publishing

1. Mengapa Orang Dewasa Mau Belajar? Teori Motivasi yang Menjelaskannya

Setiap tindakan manusia selalu punya alasan — termasuk dalam hal belajar.
Orang dewasa nggak akan duduk berjam-jam di kelas kalau mereka nggak merasa belajar itu ada gunanya. Nah, untuk memahami ini, para ahli psikologi punya beberapa teori besar tentang motivasi.

 

a. Teori Kebutuhan Maslow: Belajar Karena Ingin Naik Level Hidup

Abraham Maslow (1943) terkenal dengan hierarki kebutuhan manusia — piramida yang menggambarkan lima tingkatan kebutuhan, mulai dari yang paling dasar sampai paling tinggi.
Kalau diterapkan dalam konteks pendidikan orang dewasa, teorinya sangat relevan.

Lima tingkat kebutuhan Maslow bisa kita lihat seperti ini:

1.      Kebutuhan fisiologis (Physiological needs)
Ini kebutuhan dasar: makan, minum, tempat tinggal.
Kalau seseorang masih berjuang memenuhi kebutuhan ini, belajar bukan prioritas utama. Tapi begitu kebutuhan dasar terpenuhi, ia mulai berpikir tentang hal lain.

2.      Kebutuhan rasa aman (Safety needs)
Orang belajar agar punya keterampilan yang bisa menjamin keamanan pekerjaan dan hidupnya. Misalnya, ikut pelatihan kerja agar tidak mudah kehilangan pekerjaan.

3.      Kebutuhan sosial (Love and belongingness)
Banyak orang dewasa ikut kursus atau komunitas belajar karena ingin punya teman baru, merasa diterima, atau menjadi bagian dari kelompok.

4.      Kebutuhan penghargaan (Esteem needs)
Ini motivasi yang sering muncul: ingin diakui, dihargai, dan punya prestise. Misalnya, seorang pegawai belajar S2 agar kariernya meningkat dan dihormati.

5.      Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization)
Ini puncak motivasi — belajar karena ingin berkembang, bukan karena kebutuhan luar. Misalnya, seseorang belajar seni, menulis, atau bahasa baru bukan karena perlu, tapi karena ingin menjadi versi terbaik dari dirinya.

Jadi, menurut Maslow, semakin tinggi tingkat kebutuhan seseorang, semakin dalam makna belajarnya.
Kalau dulu belajar itu untuk bertahan hidup, sekarang bisa jadi untuk menemukan jati diri.

 

b. Teori Dua Faktor Herzberg: Antara Kepuasan dan Ketidakpuasan

Frederick Herzberg (1959) punya teori yang dikenal sebagai Two-Factor Theory atau teori motivasi-higienis.
Ia membedakan dua kelompok faktor yang memengaruhi motivasi seseorang:

1.      Faktor higienis (lingkungan eksternal): gaji, kondisi kerja, status sosial, keamanan, hubungan antarindividu.
Kalau faktor ini buruk, orang akan tidak puas, tapi kalau baik, belum tentu termotivasi.

2.      Faktor motivasional (internal): prestasi, pengakuan, tanggung jawab, dan perkembangan pribadi.
Faktor inilah yang benar-benar membuat orang termotivasi.

Nah, dalam konteks pendidikan orang dewasa, teori ini bisa dijelaskan begini:
Orang dewasa akan semangat belajar bukan cuma karena fasilitasnya bagus atau ruangan nyaman, tapi karena mereka merasa belajar itu memberi makna — mengembangkan diri, meningkatkan kompetensi, dan membuka peluang baru.

Contohnya:
Seorang guru yang ikut pelatihan teknologi pendidikan mungkin awalnya hanya ingin memenuhi tuntutan sekolah (faktor higienis), tapi kemudian merasa tertantang dan bangga karena bisa membuat media ajar digital sendiri (faktor motivasional).
Nah, di sinilah semangat belajar sejati tumbuh.

 

c. Teori Motivasi Intrinsik & Ekstrinsik (Deci & Ryan): Self-Determination Theory

Edward Deci dan Richard Ryan (1985) mengembangkan Self-Determination Theory (SDT) — teori yang menekankan bahwa motivasi sejati muncul kalau seseorang punya kebebasan, kompetensi, dan keterhubungan.

Ada tiga kebutuhan psikologis utama menurut SDT:

1.      Autonomy (Kemandirian)
Orang dewasa ingin punya kontrol atas proses belajarnya. Mereka ingin memilih topik, waktu, dan cara belajar sendiri.
Makanya, metode yang terlalu mengatur justru membuat mereka cepat bosan.

2.      Competence (Kompetensi)
Mereka ingin merasa mampu dan berhasil. Setiap pencapaian kecil, seperti menguasai aplikasi baru atau menyelesaikan proyek, bisa jadi sumber motivasi besar.

3.      Relatedness (Keterhubungan)
Orang dewasa juga ingin merasa terhubung dengan orang lain. Belajar jadi lebih bermakna kalau dilakukan dalam suasana saling mendukung — misalnya lewat diskusi, kolaborasi, atau komunitas belajar.

Jadi, motivasi orang dewasa akan kuat kalau pembelajaran:

·         Memberi ruang untuk memilih (autonomy),

·         Memberi tantangan yang bisa dicapai (competence),

·         Dan membangun kebersamaan (relatedness).

 

2. Gaya Belajar Orang Dewasa: Cara Unik Menyerap Pengetahuan

Kalau motivasi menjelaskan “mengapa” seseorang belajar, gaya belajar menjelaskan “bagaimana” mereka belajar.
Setiap orang punya cara berbeda untuk memahami informasi — ada yang cepat paham kalau melihat gambar, ada yang harus mendengar penjelasan, ada juga yang baru mengerti setelah mencoba langsung.

Secara umum, ada tiga tipe gaya belajar yang paling dikenal: visual, auditori, dan kinestetik (VAK).

 

a. Gaya Belajar Visual: Belajar Lewat Mata

Orang dengan gaya belajar visual lebih mudah memahami informasi lewat gambar, warna, diagram, atau video.
Mereka suka melihat sesuatu secara konkret dan visualisasi membantu mereka mengingat lebih lama.

Ciri-cirinya:

·         Suka mencatat dengan warna-warni,

·         Suka peta konsep, grafik, dan slide presentasi,

·         Sulit fokus kalau hanya mendengar tanpa melihat,

·         Mudah memahami ilustrasi dibanding teks panjang.

Contohnya, seorang karyawan yang belajar strategi marketing akan lebih cepat paham kalau melihat bagan alur penjualan atau infografis daripada membaca laporan teks 20 halaman.

Bagi pendidik, metode yang cocok untuk tipe ini adalah:

·         Gunakan presentasi visual (PowerPoint, video, gambar),

·         Buat mind map atau bagan ide,

·         Gunakan warna dan simbol dalam catatan.

 

b. Gaya Belajar Auditori: Belajar Lewat Pendengaran

Kalau kamu lebih mudah mengingat sesuatu yang kamu dengar, berarti kamu termasuk tipe auditori.
Orang auditori menyerap informasi lewat suara — baik dari ceramah, diskusi, atau bahkan musik.

Ciri-cirinya:

·         Suka berdiskusi atau mendengarkan penjelasan,

·         Mudah mengingat percakapan atau nada bicara,

·         Kurang suka membaca teks panjang tanpa penjelasan verbal,

·         Sering mengulang kata atau berbicara sendiri untuk mengingat.

Contoh nyata:
Seorang sopir ojek online belajar bahasa Inggris lewat podcast atau YouTube, karena lebih mudah didengar saat bekerja.

Metode yang cocok untuk tipe ini:

·         Gunakan ceramah interaktif atau diskusi kelompok,

·         Rekam materi dalam bentuk audio learning,

·         Dorong peserta untuk menjelaskan ulang apa yang mereka pelajari (teknik learning by talking).

 

c. Gaya Belajar Kinestetik: Belajar Lewat Tindakan

Nah, kalau tipe ini nggak bisa duduk diam lama-lama!
Mereka baru paham setelah melakukan langsung.
Gaya belajar kinestetik cocok dengan pendekatan praktis, eksperimen, dan simulasi.

Ciri-cirinya:

·         Belajar lewat praktik langsung (hands-on),

·         Suka bergerak atau memegang benda saat belajar,

·         Kurang fokus kalau hanya membaca atau mendengar,

·         Lebih cepat mengingat hal yang pernah dilakukan daripada yang hanya dilihat.

Contohnya:
Seorang montir belajar teknik mesin baru bukan dari buku, tapi dari membongkar dan merakit mesin itu sendiri.

Metode yang cocok untuk tipe ini:

·         Simulasi dan praktek lapangan,

·         Permainan peran (role play),

·         Belajar berbasis proyek.

 

3. Tidak Ada Gaya yang Paling Benar, yang Ada Hanya yang Paling Cocok

Menariknya, banyak orang tidak hanya punya satu gaya belajar.
Kebanyakan kombinasi dari dua atau tiga tipe, tergantung situasi dan materi.

Misalnya, seseorang bisa visual saat belajar teori, tapi kinestetik saat praktik.
Atau auditori saat berdiskusi, tapi visual saat membuat laporan.

Tugas pendidik orang dewasa bukan menilai mana yang paling baik, tapi mengenali dan menyesuaikan.
Kalau semua gaya belajar diakomodasi — misalnya dengan kombinasi video, diskusi, dan praktik — maka proses belajar akan lebih inklusif dan efektif.

 

4. Menggabungkan Motivasi dan Gaya Belajar: Kunci Sukses Pendidikan Dewasa

Sekarang coba kita hubungkan antara motivasi dan gaya belajar.
Kalau motivasi adalah bahan bakar, maka gaya belajar adalah mesin yang mengolahnya.
Bahan bakar tanpa mesin tidak menghasilkan gerak, mesin tanpa bahan bakar tidak berjalan.

Orang dewasa yang termotivasi tapi metode belajarnya tidak sesuai gaya mereka, akan cepat bosan.
Sebaliknya, gaya belajar yang menarik tapi tanpa motivasi juga tidak akan bertahan lama.

Maka, pembelajaran yang efektif untuk orang dewasa harus:

·         Menggugah motivasi intrinsik, bukan sekadar formalitas.

·         Menyesuaikan gaya belajar peserta, bukan memaksakan satu metode.

·         Menghubungkan dengan pengalaman hidup nyata, karena di sanalah makna belajar sesungguhnya.

 

5. Penutup: Belajar dengan Cara dan Alasan yang Tepat

Pada akhirnya, belajar di usia dewasa itu bukan soal kemampuan, tapi soal kesadaran dan kebermaknaan.
Ketika seseorang tahu kenapa ia belajar (motivasi), dan tahu bagaimana ia belajar paling efektif (gaya belajar), maka proses itu akan terasa ringan dan menyenangkan.

Belajar bukan lagi beban, tapi bagian dari perjalanan menjadi manusia yang terus bertumbuh.

Seperti kata pepatah,

“Yang membedakan orang sukses dan tidak bukan seberapa banyak ia tahu, tapi seberapa kuat ia ingin terus belajar.”

Friday, November 14, 2025

Karakteristik Belajar Orang Dewasa: Dari Motivasi, Pengalaman, hingga Hambatan yang Tak Terduga

 

Karakteristik Belajar Orang Dewasa: Dari Motivasi, Pengalaman, hingga Hambatan yang Tak Terduga

Kalau kita pikir-pikir, belajar itu sebenarnya nggak pernah berhenti. Dari kecil kita belajar jalan, belajar bicara, belajar berhitung, lalu setelah dewasa kita belajar kerja, belajar sabar, bahkan belajar ikhlas. Tapi ada satu hal yang sering diabaikan: belajar di usia dewasa itu punya karakter yang sangat berbeda dari belajar di masa anak-anak.

Nah, di dunia pendidikan, hal ini dikenal sebagai pendidikan orang dewasa atau andragogi — sebuah konsep yang menempatkan orang dewasa bukan sebagai murid pasif, tapi sebagai pembelajar aktif yang sudah punya pengalaman, tanggung jawab, dan cara pandang sendiri.

Belajar bagi orang dewasa itu bukan sekadar menambah ilmu, tapi sering kali jadi bagian dari perjalanan hidup — untuk memperbaiki diri, meningkatkan keterampilan, atau menghadapi perubahan zaman. Tapi, tentu aja, prosesnya nggak selalu mulus. Ada motivasi yang mendorong, pengalaman yang memengaruhi, dan juga hambatan yang bisa menghambat.

Yuk, kita bahas satu per satu tentang karakteristik belajar orang dewasa: mulai dari motivasi, pengalaman, dan orientasi belajar, sampai hambatan psikologis, sosial, dan kultural yang sering mereka hadapi.

 

Teori dan Praktik Pendidikan Orang Dewasa | CV. Cemerlang Publishing

1. Motivasi Belajar Orang Dewasa: Belajar Karena Butuh, Bukan Karena Disuruh

Kalau anak-anak biasanya belajar karena disuruh guru atau orang tua, orang dewasa belajar karena mereka merasa perlu.
Motivasi mereka cenderung datang dari dalam diri (intrinsik) — bukan karena nilai, bukan karena hadiah, tapi karena ada kebutuhan nyata.

Misalnya, seorang petani belajar teknologi pertanian organik karena ingin meningkatkan hasil panen. Seorang ibu rumah tangga belajar pemasaran digital agar bisa jualan online. Atau seorang pegawai belajar bahasa Inggris supaya bisa naik jabatan.

Menurut Malcolm Knowles, orang dewasa itu punya kesadaran tinggi tentang tanggung jawab terhadap hidupnya sendiri. Mereka nggak butuh “disuruh”, cukup diberi alasan yang jelas mengapa belajar ini penting.

Beberapa faktor yang biasanya memotivasi orang dewasa untuk belajar antara lain:

·         Kebutuhan praktis. Belajar karena ingin memecahkan masalah nyata.

·         Pengembangan diri. Ingin jadi pribadi yang lebih baik dan percaya diri.

·         Kebutuhan sosial. Ingin diakui, dihargai, atau merasa berguna dalam komunitas.

·         Dorongan spiritual atau emosional. Kadang orang belajar untuk menenangkan batin, memperluas wawasan, atau menemukan makna hidup.

Tapi, ada juga motivasi ekstrinsik, misalnya karena tuntutan pekerjaan, sertifikasi, atau keharusan dalam organisasi. Bedanya, kalau motivasi ini tidak disertai kesadaran internal, hasil belajarnya sering tidak bertahan lama.

Jadi, kuncinya adalah relevansi. Orang dewasa akan bersemangat belajar kalau mereka tahu bahwa apa yang dipelajari itu bermanfaat langsung dalam hidupnya.

 

2. Pengalaman: Sumber Belajar yang Tak Ternilai

Salah satu hal paling menonjol dari pembelajar dewasa adalah: mereka datang dengan segudang pengalaman.
Bayangkan, setiap orang punya latar belakang hidup, nilai-nilai, kebiasaan, dan cerita yang berbeda. Itu semua bisa jadi sumber belajar yang sangat kaya.

Dalam pendekatan andragogi, pengalaman bukan cuma pelengkap, tapi justru inti dari proses belajar.
Menurut Knowles, pengalaman hidup orang dewasa:

·         Membentuk cara mereka memahami sesuatu,

·         Mempengaruhi bagaimana mereka menerima pengetahuan baru,

·         Dan menjadi bahan refleksi untuk menemukan makna baru.

Misalnya, seorang guru dengan pengalaman 20 tahun pasti punya perspektif berbeda saat belajar teori pendidikan dibandingkan mahasiswa baru.
Atau seorang pengusaha kecil yang ikut pelatihan keuangan akan mengaitkan setiap konsep dengan pengalamannya mengelola usaha sehari-hari.

Metode pembelajaran yang cocok untuk orang dewasa biasanya yang berbasis pengalaman langsung, seperti:

·         Diskusi kelompok (sharing pengalaman),

·         Studi kasus (menganalisis situasi nyata),

·         Simulasi atau permainan peran,

·         Refleksi dan penulisan jurnal pribadi.

Belajar dari pengalaman membuat pengetahuan terasa lebih nyata dan bermakna.
David Kolb dalam experiential learning theory bahkan mengatakan bahwa “pengalaman adalah bahan baku utama dari pembelajaran.” Artinya, setiap pengalaman—baik sukses maupun gagal—adalah guru yang berharga.

 

3. Orientasi Belajar: Fokus pada Kehidupan Nyata

Berbeda dengan anak-anak yang belajar demi nilai atau masa depan, orang dewasa punya orientasi belajar yang praktis dan langsung ke tujuan.
Mereka lebih suka belajar hal-hal yang bisa diterapkan sekarang juga, bukan teori panjang yang tidak relevan.

Contohnya, kursus komputer untuk karyawan akan lebih efektif kalau langsung berfokus pada keterampilan yang dibutuhkan di tempat kerja, seperti mengolah data atau membuat presentasi, daripada sekadar mempelajari teori sistem operasi.

Orientasi belajar orang dewasa juga sangat berpusat pada masalah (problem-centered), bukan pada isi pelajaran.
Mereka belajar karena ada masalah yang ingin dipecahkan, bukan karena ingin menyelesaikan kurikulum.

Selain itu, orang dewasa juga selektif dalam belajar. Mereka tidak akan menyerap semua informasi, hanya yang relevan dengan kehidupan atau pekerjaan mereka.
Makanya, metode pengajaran yang cocok biasanya berbentuk diskusi, proyek, atau pelatihan berbasis kebutuhan (need-based learning).

 

4. Hambatan dalam Belajar Orang Dewasa

Nah, meskipun motivasi tinggi dan pengalaman banyak, bukan berarti proses belajar orang dewasa selalu lancar.
Faktanya, ada banyak hambatan yang bisa mengganggu, baik dari segi psikologis, sosial, maupun kultural.

a. Hambatan Psikologis

Hambatan psikologis sering kali datang dari dalam diri pembelajar itu sendiri.
Beberapa yang paling umum antara lain:

·         Rasa takut gagal. Banyak orang dewasa merasa minder untuk belajar lagi, apalagi kalau sudah lama “berhenti sekolah”.

·         Kurangnya kepercayaan diri. Mereka takut dianggap bodoh, terutama di hadapan peserta yang lebih muda atau lebih melek teknologi.

·         Stres dan kelelahan. Tanggung jawab pekerjaan, keluarga, dan ekonomi sering kali membuat fokus belajar berkurang.

·         Kebiasaan lama. Kadang pola pikir yang sudah terbentuk sulit diubah, membuat seseorang sulit menerima ide baru.

Untuk mengatasinya, pendidik perlu menciptakan suasana belajar yang aman, saling menghargai, dan tidak menghakimi.
Prinsipnya: belajar adalah proses, bukan kompetisi.

 

b. Hambatan Sosial

Selain faktor internal, ada juga hambatan yang bersifat sosial.
Banyak orang dewasa harus membagi waktu antara bekerja, mengurus keluarga, dan belajar.
Akibatnya, jadwal yang padat sering membuat mereka tidak bisa fokus atau bahkan berhenti di tengah jalan.

Beberapa contoh hambatan sosial lainnya:

·         Kurangnya dukungan dari lingkungan (misalnya pasangan atau rekan kerja tidak mendukung),

·         Akses terbatas ke fasilitas belajar (tidak ada waktu atau tempat yang memadai),

·         Beban ekonomi yang membuat biaya kursus terasa berat.

Makanya, program pendidikan untuk orang dewasa sebaiknya fleksibel dan adaptif, misalnya dengan pembelajaran daring, jadwal malam, atau sistem modular yang bisa diikuti sesuai waktu peserta.

 

c. Hambatan Kultural

Nah, ini menarik. Kadang hambatan terbesar bukan berasal dari diri sendiri atau lingkungan sosial, tapi dari budaya dan cara pandang masyarakat.
Di beberapa tempat, masih ada anggapan bahwa belajar itu “urusan anak muda”. Orang dewasa dianggap sudah terlambat atau tidak perlu lagi belajar.

Budaya seperti ini bisa membuat orang merasa malu atau ragu untuk ikut pelatihan.
Padahal, belajar itu tidak mengenal usia.

Selain itu, nilai-nilai budaya juga bisa memengaruhi cara belajar.
Misalnya:

·         Dalam budaya yang menghormati hierarki, peserta bisa sungkan bertanya kepada instruktur.

·         Dalam masyarakat yang patriarkal, perempuan dewasa bisa kesulitan mengakses pendidikan karena peran domestik.

·         Dalam budaya kolektif, orang lebih suka belajar secara kelompok ketimbang individual.

Pendidik orang dewasa perlu memahami konteks budaya ini agar metode pengajaran bisa disesuaikan. Tujuannya bukan mengubah budaya, tapi memasukkan pembelajaran ke dalam nilai-nilai lokal yang ada.

 

5. Bagaimana Menghadapi Hambatan-Hambatan Itu?

Setiap hambatan sebenarnya bisa jadi peluang kalau didekati dengan cara yang tepat.
Berikut beberapa strategi yang bisa dilakukan pendidik (dan pembelajar sendiri):

·         Bangun suasana saling percaya. Orang dewasa butuh merasa dihargai, bukan dihakimi.

·         Gunakan pengalaman peserta sebagai bahan diskusi.

·         Berikan fleksibilitas waktu dan metode. Bisa lewat blended learning, kursus malam, atau belajar berbasis komunitas.

·         Fokus pada hasil nyata. Setiap pembelajaran harus terasa manfaatnya dalam kehidupan peserta.

·         Dukung motivasi intrinsik. Beri ruang bagi peserta untuk menentukan tujuan belajarnya sendiri.

Ketika pembelajaran dirancang dengan prinsip andragogi, hambatan-hambatan itu bisa diubah menjadi bahan refleksi dan pertumbuhan.

 

6. Belajar Dewasa: Lebih dari Sekadar Ilmu

Kalau dirangkum, karakteristik belajar orang dewasa bisa disimpulkan begini:

·         Mereka belajar karena kebutuhan nyata, bukan sekadar kewajiban.

·         Mereka membawa pengalaman hidup yang jadi sumber belajar berharga.

·         Mereka berorientasi pada penerapan langsung, bukan hafalan.

·         Tapi mereka juga menghadapi hambatan psikologis, sosial, dan kultural yang harus dipahami dan dihargai.

Belajar di usia dewasa itu seperti menanam pohon setelah lama hidup di padang tandus. Tidak mudah, tapi hasilnya bisa luar biasa—karena pohon itu tumbuh dengan kesadaran, bukan sekadar kebiasaan.

 

Penutup: Belajar Itu Hak, Bukan Umur

Akhirnya, pendidikan orang dewasa mengingatkan kita bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar.
Mau usia 30, 50, bahkan 70 tahun—selama masih ada rasa ingin tahu, semangat, dan keberanian untuk berkembang, maka seseorang tetap pembelajar sejati.

Karena sejatinya, belajar bukan soal umur, tapi soal niat dan makna.

“Hidup adalah belajar tanpa henti. Saat berhenti belajar, saat itulah kita benar-benar tua.”

 

Thursday, November 13, 2025

Teori-Teori Belajar Orang Dewasa (Andragogi): Belajar Sepanjang Hayat yang Berarti

 

Teori-Teori Belajar Orang Dewasa (Andragogi): Belajar Sepanjang Hayat yang Berarti

Kalau kita ngomongin tentang belajar, banyak orang langsung kebayang anak sekolah dengan seragam, guru di depan kelas, dan suasana formal. Tapi seiring bertambahnya umur, kita mulai sadar bahwa belajar ternyata nggak berhenti di ruang kelas. Hidup itu sendiri adalah sekolah besar yang nggak pernah kasih ijazah, tapi selalu kasih pelajaran.

Nah, di sinilah muncul yang namanya pendidikan orang dewasa, atau dalam istilah kerennya andragogi. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Malcolm Knowles, yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Orang Dewasa Modern. Kalau pedagogi itu fokus pada bagaimana anak belajar, maka andragogi fokus pada bagaimana orang dewasa belajar.

Dan ternyata, cara orang dewasa belajar itu beda banget. Mereka punya pengalaman hidup, tanggung jawab, dan motivasi yang nggak sama dengan anak-anak. Mereka belajar bukan karena disuruh, tapi karena mereka ingin dan butuh.

Dalam artikel ini, kita bakal bahas empat teori besar yang menjelaskan bagaimana orang dewasa belajar:

1.      Prinsip-prinsip andragogi menurut Malcolm Knowles,

2.      Experiential Learning dari David Kolb,

3.      Self-Directed Learning, dan

4.      Transformative Learning.

Yuk, kita bahas satu per satu dengan gaya santai tapi tetap bermakna!

 

Teori dan Praktik Pendidikan Orang Dewasa | CV. Cemerlang Publishing

1. Prinsip-Prinsip Andragogi Menurut Malcolm Knowles

Malcolm Knowles (1913–1997) adalah sosok yang mengubah cara dunia memandang pembelajaran orang dewasa. Menurutnya, orang dewasa tidak bisa diperlakukan seperti anak-anak dalam belajar. Mereka punya kebutuhan dan karakteristik unik yang membuat pendekatan pengajaran harus berbeda.

Knowles mengemukakan enam prinsip utama andragogi yang jadi pondasi dalam pendidikan orang dewasa:

1. Kebutuhan untuk tahu (The Need to Know)

Orang dewasa butuh tahu kenapa mereka harus belajar sesuatu sebelum benar-benar mau belajar. Kalau nggak tahu manfaatnya, mereka cenderung malas atau nggak tertarik.
Contohnya, kalau kamu mau ngajarin pegawai tentang teknologi baru, jangan langsung masuk ke teknisnya. Jelaskan dulu kenapa ini penting—misalnya bisa bikin kerja lebih cepat, lebih aman, atau meningkatkan karier mereka.

2. Konsep diri (Self-Concept)

Berbeda dengan anak-anak yang masih bergantung pada guru, orang dewasa merasa dirinya mandiri dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Jadi, mereka nggak suka kalau “diatur” secara berlebihan dalam belajar.
Tugas pendidik di sini bukan memberi perintah, tapi menjadi fasilitator—memberi ruang bagi peserta untuk mengatur ritme dan gaya belajarnya sendiri.

3. Peran pengalaman (Experience)

Pengalaman hidup adalah sumber belajar paling berharga bagi orang dewasa. Setiap peserta datang ke kelas membawa “cerita hidup” yang bisa memperkaya diskusi.
Makanya, metode belajar yang cocok biasanya berbasis diskusi, studi kasus, atau refleksi—bukan ceramah satu arah.

4. Kesiapan untuk belajar (Readiness to Learn)

Orang dewasa biasanya belajar karena mereka siap dan butuh sesuatu yang relevan dengan kehidupan mereka saat itu.
Misalnya, seorang petani tertarik ikut pelatihan pupuk organik karena ingin meningkatkan hasil panennya, bukan karena ingin nilai bagus.

5. Orientasi terhadap belajar (Orientation to Learning)

Anak-anak belajar untuk masa depan (buat ujian, naik kelas, dan sebagainya). Tapi orang dewasa belajar untuk memecahkan masalah sekarang.
Jadi, pembelajaran harus kontekstual dan praktis—langsung bisa diterapkan dalam kehidupan atau pekerjaan.

6. Motivasi untuk belajar (Motivation)

Motivasi orang dewasa biasanya datang dari dalam diri (intrinsik), bukan dari luar. Mereka belajar karena ingin berkembang, lebih percaya diri, atau meningkatkan kualitas hidupnya.

Nah, keenam prinsip inilah yang membedakan pendidikan orang dewasa dari pendidikan anak. Knowles menegaskan bahwa pengajar orang dewasa harus menghormati otonomi peserta, menghargai pengalamannya, dan menghubungkan pembelajaran dengan kebutuhan nyata.

 

2. Teori Experiential Learning (David Kolb): Belajar Lewat Pengalaman

Kalau Malcolm Knowles bicara soal prinsip dasar orang dewasa belajar, David Kolb menjelaskan bagaimana proses belajar itu terjadi—yaitu lewat pengalaman langsung.

Menurut Kolb (1984), belajar adalah proses di mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Jadi, belajar bukan sekadar mendengar teori, tapi benar-benar mengalami dan merefleksikannya.

Ia menggambarkan proses belajar dalam empat tahap siklus yang saling berhubungan, disebut Kolb’s Learning Cycle:

1. Concrete Experience (Pengalaman Konkret)

Tahap pertama adalah mengalami sesuatu secara langsung. Misalnya, seorang wirausaha mencoba strategi pemasaran baru atau seorang guru mencoba metode mengajar baru di kelasnya.

2. Reflective Observation (Refleksi)

Setelah mengalami, orang mulai merenungkan apa yang terjadi. Apa yang berhasil? Apa yang tidak? Apa yang bisa dipelajari dari situ?

3. Abstract Conceptualization (Konseptualisasi)

Dari refleksi, orang mulai membentuk teori atau pemahaman baru. Mereka mulai menghubungkan pengalaman dengan konsep atau prinsip yang lebih umum.

4. Active Experimentation (Eksperimen Aktif)

Akhirnya, teori atau pemahaman baru itu diuji kembali dalam tindakan nyata. Orang mencoba pendekatan baru dan melihat hasilnya.

Setelah itu, siklus berulang lagi — pengalaman baru menghasilkan pembelajaran baru.

Contoh Nyata:

Bayangkan seorang nelayan belajar cara baru menangkap ikan menggunakan alat ramah lingkungan.

1.      Ia mencoba (pengalaman konkrit).

2.      Ia refleksi, ternyata hasilnya lebih baik (reflektif).

3.      Ia pahami bahwa alat ini efisien dan menjaga ekosistem (konseptualisasi).

4.      Ia lalu mengajarkan cara ini ke teman-temannya (eksperimen aktif).

Begitulah proses belajar sejati—berawal dari pengalaman, diolah dalam refleksi, dan kembali ke tindakan nyata.

Teori Kolb ini sangat cocok untuk pendidikan orang dewasa, karena mereka belajar paling baik dari pengalaman hidupnya sendiri.

 

3. Self-Directed Learning (Belajar Mandiri)

Nah, teori ini muncul dari kenyataan bahwa orang dewasa itu cenderung belajar secara mandiri. Mereka nggak menunggu orang lain untuk mengajari, tapi aktif mencari sendiri apa yang mereka butuhkan.

Self-Directed Learning (SDL) berarti proses di mana individu mengambil inisiatif untuk mendiagnosis kebutuhan belajarnya, menetapkan tujuan, mencari sumber belajar, memilih strategi, dan mengevaluasi hasilnya.

Tokoh penting di bidang ini adalah Tough (1971) dan Knowles (1975) yang menegaskan bahwa belajar mandiri adalah ciri utama orang dewasa.

Karakteristik SDL:

1.      Otonomi tinggi. Peserta menentukan arah belajarnya sendiri.

2.      Motivasi intrinsik. Belajar karena ingin, bukan karena disuruh.

3.      Sumber belajar beragam. Bisa dari buku, internet, komunitas, mentor, atau pengalaman kerja.

4.      Belajar sepanjang hayat. Tidak terikat ruang dan waktu.

Sekarang kita bisa lihat contoh nyata SDL di mana-mana. Misalnya:

·         Seorang karyawan belajar desain grafis lewat YouTube agar bisa promosi produknya.

·         Seorang ibu rumah tangga belajar bisnis online lewat webinar.

·         Seorang pensiunan belajar bercocok tanam hidroponik lewat komunitas Facebook.

Itulah bentuk nyata dari self-directed learning—belajar dengan kesadaran, tanpa menunggu disuruh.

SDL juga sangat relevan di era digital sekarang, karena akses informasi begitu terbuka. Siapa pun bisa belajar apa saja, kapan saja, di mana saja, asal punya kemauan.

 

4. Transformative Learning: Belajar yang Mengubah Diri

Kalau tiga teori sebelumnya bicara soal bagaimana orang dewasa belajar, teori Transformative Learning berbicara soal apa yang berubah setelah belajar.

Teori ini dikembangkan oleh Jack Mezirow (1978) yang mengatakan bahwa tujuan utama pendidikan orang dewasa adalah transformasi cara berpikir.

Menurut Mezirow, orang dewasa sering kali membawa “kerangka berpikir lama” (frame of reference) yang terbentuk dari pengalaman masa lalu. Tapi ketika mereka belajar, mereka bisa mulai mempertanyakan keyakinan lama itu dan menggantinya dengan pandangan baru yang lebih luas.

Proses Transformative Learning biasanya terjadi lewat tiga tahap:

1.      Disorienting Dilemma (Situasi yang Mengguncang)
Orang mengalami peristiwa yang membuatnya mempertanyakan pandangan lama. Misalnya, seorang pekerja kehilangan pekerjaan dan mulai berpikir ulang tentang makna karier dan hidupnya.

2.      Critical Reflection (Refleksi Kritis)
Orang mulai merenung: kenapa saya berpikir seperti ini? Apakah nilai-nilai saya masih relevan?

3.      New Perspective (Pandangan Baru)
Dari refleksi itu lahir kesadaran baru, yang mengubah cara berpikir dan bertindak.

Contohnya, seseorang yang dulu menganggap pendidikan hanya soal nilai akademik, setelah ikut pelatihan pemberdayaan masyarakat, jadi sadar bahwa pendidikan juga soal keadilan dan empati sosial.

Itulah inti dari pembelajaran transformatif—bukan hanya menambah pengetahuan, tapi mengubah kesadaran.

Teori ini sangat dipengaruhi oleh gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan, di mana belajar berarti menyadari realitas dan berani mengubahnya.

 

5. Menyatukan Keempat Teori: Belajar Sepanjang Hidup

Kalau kita lihat, keempat teori ini sebenarnya saling melengkapi:

·         Andragogi (Knowles) memberi prinsip dasar: orang dewasa belajar karena kebutuhan nyata, dengan cara mandiri dan berbasis pengalaman.

·         Experiential Learning (Kolb) menjelaskan bahwa pengalaman adalah sumber utama belajar.

·         Self-Directed Learning menekankan kemandirian dan inisiatif pribadi.

·         Transformative Learning menekankan perubahan cara berpikir dan kesadaran kritis.

Semua teori ini berpijak pada satu hal: orang dewasa adalah subjek belajar yang aktif, reflektif, dan mandiri. Mereka nggak sekadar mencari ilmu, tapi mencari makna.

 

Penutup: Belajar Itu Perjalanan, Bukan Tujuan

Pada akhirnya, teori-teori belajar orang dewasa mengingatkan kita bahwa belajar itu nggak berhenti di usia tertentu. Ia adalah perjalanan seumur hidup—dari pengalaman, refleksi, sampai transformasi diri.

Belajar bagi orang dewasa bukan cuma menambah pengetahuan, tapi menemukan siapa dirinya dan bagaimana ia bisa berkontribusi.

Seperti kata pepatah,

“Manusia tidak berhenti belajar karena menua; ia menua karena berhenti belajar.”

Jadi, mau kamu dosen, petani, pegawai, ibu rumah tangga, atau wirausahawan—selama kamu masih punya rasa ingin tahu, kamu masih jadi murid kehidupan.

Burnout pada Guru: Tanda-Tanda dan Cara Mengatasinya

  🔥 Burnout pada Guru: Tanda-Tanda dan Cara Mengatasinya Halo para pahlawan tanpa tanda jasa di Ruang Guru! 👋 Ngaku deh, siapa yang ...