![]() |
Ratnawati |
a. Diskrepansi antara idealisme filosofi
pendidikan dan realita praktiknya.
Filosofi pendidikan sering kali
menggambarkan visi ideal tentang bagaimana pendidikan seharusnya membentuk
individu yang cerdas, bermoral, dan berdaya guna bagi masyarakat. Namun,
kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan antara idealisme ini dan
realitas praktiknya. Idealisme pendidikan, seperti yang diusung oleh
tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, menekankan pembelajaran yang holistik,
humanis, dan berbasis pada nilai-nilai budaya lokal (Dewantara, 2013). Namun,
dalam praktiknya, sistem pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, masih
terjebak pada pendekatan yang berorientasi pada hasil akademik semata, seperti
nilai ujian dan peringkat sekolah.
Salah satu penyebab utama
diskrepansi ini adalah keterbatasan sumber daya, baik dalam bentuk tenaga
pendidik yang terlatih maupun infrastruktur yang memadai. Idealnya, pendidikan
seharusnya bersifat inklusif dan menyesuaikan dengan kebutuhan individu siswa.
Namun, dalam kenyataannya, banyak sekolah yang masih menggunakan pendekatan
satu ukuran untuk semua (one-size-fits-all), yang sering kali
mengabaikan perbedaan latar belakang sosial, budaya, dan kemampuan siswa
(Tilaar, 2012).
Selain itu, tekanan dari
kebijakan pendidikan yang cenderung berorientasi pada standar global sering
kali membuat filosofi lokal tersingkirkan. Sebagai contoh, fokus pada
pencapaian skor tes internasional seperti PISA telah menggeser perhatian dari
nilai-nilai karakter dan budaya lokal yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan
nasional. Hal ini menciptakan generasi yang kompeten secara global tetapi
kurang terhubung dengan akar budaya mereka (Rahardjo, 2015).
Kesenjangan ini juga terlihat
dalam implementasi pendidikan karakter. Meskipun filosofi pendidikan karakter
menekankan pembentukan moral dan etika, praktik di lapangan sering kali hanya
bersifat seremonial, seperti upacara bendera atau program ekstrakurikuler tanpa
pendalaman nilai-nilai yang diajarkan. Hal ini menunjukkan bahwa filosofi
pendidikan sering kali tidak diterjemahkan secara efektif ke dalam kurikulum
dan metode pengajaran sehari-hari (Suyatno & Wahyuni, 2020).
Untuk mengatasi diskrepansi ini,
diperlukan upaya sistematis untuk memperkuat pelatihan guru, mereformasi
kurikulum, dan menciptakan kebijakan pendidikan yang lebih kontekstual. Dengan
demikian, idealisme filosofi pendidikan dapat diwujudkan secara nyata dalam
praktik, menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga memiliki
karakter dan koneksi kuat dengan budaya mereka.
b. Tantangan
globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial terhadap nilai-nilai pendidikan nasional.
Globalisasi, perkembangan
teknologi, dan perubahan sosial membawa tantangan signifikan terhadap upaya
mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai pendidikan nasional. Globalisasi,
misalnya, mempermudah arus informasi dan budaya lintas negara, yang sering kali
menyebabkan nilai-nilai lokal dan tradisional tergerus oleh pengaruh budaya
global. Sistem pendidikan nasional dihadapkan pada tantangan untuk tetap
relevan di era global, sambil tetap mempertahankan identitas budaya yang khas
(Tilaar, 2012).
Di sisi lain, kemajuan teknologi,
meskipun memberikan banyak manfaat, juga menimbulkan dampak kompleks. Teknologi
mengubah cara belajar, mengakses informasi, dan berinteraksi. Generasi muda
kini lebih banyak terpapar pada media digital, yang tidak selalu membawa
nilai-nilai positif. Pendidikan nasional harus beradaptasi dengan perubahan
ini, misalnya melalui integrasi teknologi dalam proses pembelajaran, tanpa
mengabaikan pengajaran nilai-nilai karakter dan kebangsaan (Suyatno &
Wahyuni, 2020).
Perubahan sosial juga menjadi
tantangan tersendiri. Pergeseran struktur masyarakat, seperti urbanisasi dan
individualisme yang semakin meningkat, sering kali melemahkan nilai-nilai
tradisional seperti gotong royong dan solidaritas. Hal ini berdampak pada
pendidikan, di mana pembelajaran nilai-nilai kebersamaan dan tanggung jawab
sosial menjadi semakin sulit diterapkan. Kurikulum pendidikan nasional harus
mampu menjembatani perbedaan ini, dengan memberikan ruang bagi pengajaran
nilai-nilai kebangsaan yang relevan dengan konteks sosial saat ini (Rahardjo,
2015).
Tantangan-tantangan ini menuntut
sistem pendidikan nasional untuk bersikap adaptif dan inovatif, tetapi tetap
berpijak pada fondasi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Reformasi
pendidikan diperlukan untuk memastikan bahwa generasi muda tidak hanya siap
menghadapi tantangan global tetapi juga memiliki identitas nasional yang kuat.
Dengan pendekatan yang holistik dan berbasis nilai, pendidikan nasional dapat
menjadi alat utama untuk mempertahankan kebangsaan di tengah dinamika dunia
yang terus berubah.
c. Upaya menghadapi tantangan tersebut
melalui inovasi dan transformasi pendidikan.
Menghadapi tantangan globalisasi,
teknologi, dan perubahan sosial, sistem pendidikan nasional perlu melakukan
inovasi dan transformasi yang berkelanjutan. Salah satu upaya penting adalah
menciptakan kurikulum yang adaptif dan relevan. Kurikulum ini harus mampu
mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan kebutuhan global, seperti literasi
digital, kompetensi abad ke-21, dan penguatan karakter. Contohnya adalah
pengajaran berbasis proyek yang tidak hanya mengembangkan keterampilan teknis,
tetapi juga nilai-nilai seperti gotong royong, empati, dan tanggung jawab
sosial (Tilaar, 2012).
Pemanfaatan teknologi menjadi
langkah strategis lain dalam mentransformasi pendidikan. Digitalisasi
pendidikan, melalui platform pembelajaran daring dan alat interaktif,
memungkinkan akses pendidikan yang lebih luas dan inklusif. Namun, teknologi
ini juga harus digunakan secara bijak untuk mendukung pengajaran nilai-nilai
budaya dan moral. Guru harus dilatih untuk memanfaatkan teknologi secara
efektif dalam proses belajar mengajar, sehingga tidak hanya menjadi alat
transfer pengetahuan, tetapi juga sarana untuk membangun karakter siswa
(Suyatno & Wahyuni, 2020).
Transformasi pendidikan juga
memerlukan pendekatan yang lebih personal dan kontekstual. Sistem pendidikan
perlu memperhatikan perbedaan regional dan kebutuhan lokal. Sebagai contoh, di
daerah dengan kearifan lokal yang kuat, seperti Bali atau Minangkabau,
nilai-nilai tradisional dapat diintegrasikan ke dalam pelajaran formal untuk
menjaga identitas budaya di tengah arus globalisasi (Rahardjo, 2015).
Selain itu, kolaborasi antara
pemerintah, komunitas, dan sektor swasta menjadi kunci keberhasilan inovasi
pendidikan. Pemerintah dapat menyediakan kebijakan yang mendukung transformasi,
sementara komunitas lokal dan sektor swasta dapat berkontribusi melalui program
pendidikan berbasis masyarakat atau investasi pada infrastruktur pendidikan.
Pendekatan ini memastikan bahwa transformasi pendidikan tidak hanya bersifat
top-down, tetapi juga melibatkan semua pihak yang berkepentingan (UNESCO,
2021).
Dengan inovasi dan transformasi
yang terarah, pendidikan nasional dapat menjadi pilar utama dalam mempersiapkan
generasi muda untuk menghadapi tantangan global tanpa kehilangan identitas
budaya. Ini adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang tidak
hanya kompetitif secara global, tetapi juga memiliki akar nilai yang kuat.
Referensi
- Dewantara, K. H. (2013). Pendidikan yang
Membebaskan. Yogyakarta: Taman Siswa.
- Rahardjo, M. (2015). Pendidikan dan Budaya
Lokal dalam Pembentukan Identitas Nasional. Jurnal Pendidikan Nasional,
8(1), 34-46.
- Suyatno, & Wahyuni, L. (2020).
Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal Pendidikan Karakter,
12(2), 67-81.
- Tilaar, H. A. R. (2012). Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Grasindo.
- Rahardjo, M. (2015). Pendidikan dan Budaya
Lokal dalam Pembentukan Identitas Nasional. Jurnal Pendidikan Nasional,
8(1), 34-46.
- Suyatno, & Wahyuni, L. (2020).
Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal Pendidikan Karakter,
12(2), 67-81.
- Tilaar, H. A. R. (2012). Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Grasindo.
- Rahardjo, M. (2015). Pendidikan dan Budaya
Lokal dalam Pembentukan Identitas Nasional. Jurnal Pendidikan Nasional,
8(1), 34-46.
- Suyatno, & Wahyuni, L. (2020).
Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal Pendidikan Karakter,
12(2), 67-81.
- Tilaar, H. A. R. (2012). Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Grasindo.
- UNESCO. (2021). Reimagining Our Futures Together:
A New Social Contract for Education. Paris: UNESCO.
Comments
Post a Comment